Dion, Antara Biru Lazuardi dan Kabut yang Sedih

Lampu teater perlahan-lahan meredup seiring dengan layar yang menyala dengan berbagai informasi dan peraturan menonton di dalam gedung teater. Sekotak popcorn bersuara renyah isinya tinggal dua per tiga. Sesekali jemari saling bersentuhan saat meraup butiran jagung panggang yang renyah itu. Film mulai berputar.

Jari-jemari saling bertaut. Sesekali ada jemari iseng dan sedikit nakal menggelitiki dalam kotak popcorn. Butiran jagung panggang tergenggam di antara jemari. Tak peduli. Masih menggenggam jemari Dion dan mengelusnya, Trisha menoleh pada Dion. Dion masih memandang ke depan seolah tak sadar bahwa dirinya dipandangi.

Wajah Dion yang tidak tampan tetapi menenangkan. Bagi Trisha begitu. Rahangnya yang kokoh dan garis wajahnya yang tegas. Dion masih menonton film dengan asyik, tak acuh dengan Trisha. Jemari Dion yang tangkas. Trisha menyebutnya begitu. Tak ada yang tak bisa dilakukan oleh jemari itu. Menjahit, menisik, memasak, memasang kawat jemuran, memasang instalasi listrik, dan merajut. Oh, tentu saja berbagai tanaman hias dan sulur-sulur mawar yang indah di pekarangan rumah, juga adalah hasil dari sentuhan jemari tangkas ini.

Jari – jemari masih saling bertautan di dalam kotak popcorn. Dion yang tak acuh membuat Trisha gemas. Jemarinya meremas dan menggoyangkan jemari Dion dengan tak sabar. Dion membalas remasan jemari Trisha dengan menggelitik telapak tangannya. Trisha terkikik geli, segera menarik tangannya. Namun Dion lebih cepat. Ditangkapnya lengan Trisha dengan lembut dan ditariknya perlahan hingga bahu sebelah kanan Trisha bersandar pada dada Dion yang bidang. Lengan Dion kemudian mengembang, memeluk Trisha. Dion menggeram perlahan dan tak menolehkan kepalanya sedikit pun. Pelan-pelan tangan kanan Dion meletakkan kotak popcorn ke rak di sisi kanan tempat duduk. Lalu tangan kanannya mengelus lengan kiri Trisha yang terkulai di dadanya dan berakhir dengan menggenggam tangan kiri Trisha. Hangat.

Trisha tenggelam dalam pelukan Dion. Rasanya aman dan nyaman sekali. Hangat. Namun Trisha menginginkan lebih lagi. Ia menginginkan lebih dari rasa aman dan nyaman. Trisha menginginkan Dion yang menggoda, Dion yang menggetarkan. Geraman Dion yang lembut menerbangkan ribuan kupu-kupu dari tubuh Trisha.

Trisha menengadahkan kepalanya. Cuping hidungnya mengembang dan tubuhnya meregang karena kulit wajahnya bersentuhan dengan rahang Dion yang masih menyajikan aroma sisa bercukurnya. Sangat memabukkan.

Kali ini Dion menolehkan kepalanya. Mata mereka bertemu. Dion tersenyum. Sedetik kecupan ringan mendarat di kening Trisha. Kecupan itu diteruskan dengan kecupan-kecupan kecil, lembut, dan pelan-pelan menelusuri sisi wajah Trisha, dari kening meluncur turun ke ujung pipi, terus bergeser ke cuping telinga, anak telinga, lalu kecupan agak lama bersarang di lekukan antara rahang dan tulang bahu. Hembusan nafas Dion yang hangat membelai kulit wajah Trisha. Trisha mengigil dan semakin ia menenggelamkan diri ke dalam lengan Dion yang hangat. Trisha menengadahkan kepalanya. Matanya menangkap pandangan Dion. Lalu Trisha tersenyum. Dion tersenyum dan kembali menenggelankan kecupannya di lekuk rahang Trisha.

“Terus, teruskanlah! Aku menginginkannya!”, jerit Trisha dalam hati.

“Trisha nonton film atau nonton Dion?”, Dion bertanya sambil berbisik dan terus menenggelamkan kecupannya, yang sudah bergeser ke leher bawah dan jilatan lidahnya sudah sampai di lekukan tulang bahu. Trisha hanya tersenyum dan tangan kirinya mengelus rahang Dion yang memabukkan.

Dion menggeram lagi. Kecupannya bergeser naik ke ujung bibir. Lidahnya sekejap mengelus bibir atas milik Trisha. Lalu terakhir sebuah kecupan ringan di ujung hidung.

” Nanti lagi ya. Sekarang nonton film dulu, hm?”, gumam Dion di telinga Trisha.

Trisha memandang Dion.

” Janji ya?”

“Janji.”

Dion kembali memandang layar. Trisha tetap tenggelam dalam pelukannya. Diam-diam, sepasang sungai kecil yang hangat mengalir dari sepasang mata Trisha. Trisha menangis dalam diam.

Dion tahu, Trisha semakin tidak baik-baik saja.

Genggaman jemari Trisha pada jemarinya membangunkan Dion, menyadarkannya dengan siapa ia saat ini. Saat lampu teater mulai meredup, Dion memaksa dirinya tetap memandang layar. Ia tahu, bola mata Trisha mencari-cari bola matanya. Terasa olehnya tubuh Trisha menegang dan menarik diri lewat jemarinya yang dilepaskan dari tautannya pada jemari Dion. Hati Dion luluh seperti kelopak bunga mawar yang berguguran helai demi helai. Tak bisa tidak, tidak diijinkannya jemari itu pergi.

Trisha tenggelam dalam pelukannya dan tubuhnya yang harum. Dion sangat menyayangi perempuan ini. Trisha adalah perempuan kedua dalam hati Dion setelah ibunya. Tak terbayangkan jika Trisha tak hadir dalam hidupnya. Rasanya tak mungkin.  Mereka sama-sama anak tunggal. Mereka tumbuh bersama. Keluarga mereka dekat. Tak pernah ada rahasia di antara mereka. Mereka saling mengenal tubuh mereka sedari kecil. Dion tahu kapan Trisha menstruasi pertama kali, karena Trisha berlari kepada Dion waktu itu, gemetar dan ketakutan. Sampai akhirnya Dion harus melihat apa yang terjadi dan mengantar Trisha pulang ke rumah. Hari itu mereka berdua tak masuk sekolah. Trisha tak mau melepaskan pelukannya dari Dion. Dion tak pernah melepaskan diri dari pelukan Trisha. Waktu itu rasanya Dion merasa sangat berarti. Ibu Tiana, mama Trisha, hanya geleng-geleng kepala melihat mereka, lalu mengatakan pada Dion bahwa mulai hari itu Dion harus menjaga Trisha. Dion berjanji akan menjaga Trisha.

Begitu juga saat Dion mimpi basah pertama kali. Trisha adalah orang pertama yang diceritakannya. Trisha tertawa-tawa saat Dion memperlihatkan celana piyamanya yang basah dan tetap tertawa-tawa saat Dion bercerita bahwa dia bermimpi sepanjang malam memandangi guru keseniannya, Pak Airlangga, yang sedang melukis sambil bertelanjang. Mereka tertawa bersama. Mereka mentertawakan mimpi itu. Namun Dion tak pernah bercerita lebih dalam bahwa mimpi pertama itu menjadi awal mimpi-mimpinya yang lain. Mimpi pertama itu membuka matanya bahwa pesona Pak Airlangga lebih dari guru kesenian yang berbakat dan hebat. Dion merasa jika ia terus menceritakan mimpinya maka Trisha akan terluka. Dion tak mengerti, tetapi ia percaya pada perasaannya.

Kini mereka semakin beranjak dewasa, Trisha terus tergantung pada Dion dan sikap tubuhnya mulai berbeda. Dion menyadari bahwa Trisha mulai berbeda. Dion juga menyadari bahwa dia berbeda. Dion tahu bahwa Trisha sangat berarti. Dion hadir untuk menjaga Trisha.

Keluarga mereka punya kebiasaan untuk saling menitipkan anak jika salah satu orang tua harus pergi ke luar kota. Hal ini terjadi sejak mereka masih kecil. Bertahun-tahun lamanya, saat tidur bersama, mereka akan mengobrol sampai malam, bergulat sampai lelah, perang bantal, dan berbagai hal lain yang kerap dilakukan oleh setiap saudara yang dekat. Tetapi malam itu, Trisha agak berbeda. Mereka tetap ngobrol, bergosip, dan tertawa-tawa. Tetapi saat mereka mulai agak mengantuk, Trisha merapatkan tubuhnya pada Dion dan memeluk Dion dengan erat sekali. Dion bergerak, menolak pelukan Trisha, siap-siap melakukan serangan balik.

“Trisha, Dion ngantuk. Gulatnya besok aja dech.”

“Trisha cuma mau peluk Dion aja. Peluk begini. Gak apa-apa, kan? Dion merasa apa?”

“Geli nich, ” kata Dion sambil melakukan serangan balik, menindih tubuh Trisha.

Dion kaget, karena wajah Trisha memerah saat Dion menindihnya.

” Eh,Trisha kenapa?”, tanya Dion, bangkit, dan duduk di sebelah Trisha yang juga segera duduk melipat kakinya di dada. 

“Gak apa-apa,”, jawab Trisha sambil memberikan sebuah buku saku pada Dion, “Trisha punya sesuatu untuk Dion, baca ya, tapi diam-diam aja, soalnya nanti kalau ketahuan papa mama kita, kita bisa dimarahin.”

Dion lihat buku itu. Astaga! Buku porno! Dion tahu apa artinya buku porno. Sudah beberapa kali Dion ditawari apakah mau beli. Tetapi Dion menolak. Selain karena takut dirazia oleh sekolah, Dion juga tahu apa isi buku itu, apa gambar pada buku itu, karena teman-teman di sekolah lihat buku itu bersama-sama juga. Jadi Dion tahu. Tapi sekarang buku ini ada di tangannya dan dia terima buku ini dari Trisha. Astaga!

Wajah Dion pias dan tampak tak suka menerima buku itu. Trisha memandanginya, heran.

“Dapat dari mana ini?!”, tanya Dion ketus.

“Dari Trent.”, jawab Trisha pelan.  

“Kenapa dia kasih buku ini ke kamu? Apa maksudnya? Kapan kalian ketemu?”

“Dion cemburu?!”, tanya Trisha. Matanya membulat dan bersinar-sinar tampak bahagia.

Dion terhenyak, seolah baru dibangunkan dari tidur yang panjang. Tetapi dirinya tak berpikir panjang lagi untuk mengangguk. Dion mengangguk.

Mata Trisha berkaca-kaca. Tangan Trisha menarik tubuh Dion untuk berbaring disebelahnya. Kemudian Trisha memeluk Dion.

“Trisha senang sekali. Senang sekali. Dion tetap aja baca buku itu ya. Trisha janji gak akan ketemu Trent lagi. Jajan di kantin sekolah dengan Trent juga tidak akan lagi. “

“Janji?!”

“Janji. “

 Setelah janji itu, Dion merasa memasuki sebuah lubang cacing di lingkaran Bima Sakti yang tak hingga panjang dan gelapnya.

Dion menggeram. Janji itu terucap sejak empat tahun yang lalu. Sejak saat itu Trisha seperti berdevosi pada Dion. Hanya ada Dion bagi Trisha. Bagi Dion memang hanya Trisha perempuan yang paling dikasihinya setelah ibunya. Untuk Trisha apa pun itu, selama Dion bisa dan tak akan membahayakan Trisha, akan dilakukannya.

Buku sialan itu membuka mata Dion bahwa Trisha sudah membuka dirinya pada Dion. Buku itu membuka mata Dion bahwa mereka bukan lagi anak kecil yang bisa bergulat, bergulingan di rumput seenaknya. Buku itu menyakitkan hati Dion karena ia ingin melakukan semuanya yang terlukiskan pada buku itu, tetapi entah kenapa bukan bersama Trisha. Dion harus menjaga Trisha.

Tangan mungil itu bergerak. Dion tergeragap. Lampu teater menyala terang benderang. Sepasang mata bulat memandanginya dengan jengkel.

“Tuh kan, Dion tidur lagi!”

Dion tertawa, berdiri, menarik tangan mungil itu, lalu mendorong bahu Trisha dengan lembut, berjalan, keluar dari teater.

“Makan bubur, yuk?”

Mata bulat itu memandangi Dion, tertawa, dan menganggguk.

Dion tertawa. Dilingkarkannya lengannya pada pinggang Trisha. Dion tahu, Trisha tak pernah sungguh-sungguh marah. Tapi entahlah pada suatu hari nanti.

“Biarlah kami berbahagia saat ini Tuhan.”, pikir Dion sambil mengeratkan pelukannya dan menikmati mata Trisha yang tersenyum.

Dion berjalan dalam senyap, tertatih meniti, seolah melayang di lubang hitam tak berujung dan tak berdasar. Sebuah sosok tegap beberapa langkah di depannya, setengah menoleh ke belakang. Pak Airlangga! Siluet wajahnya tidak akan pernah Dion lupakan. Kontur wajah yang khas itu. Sosok lain yang mungil semampai di belakang Dion, hanya kabut, dan berusaha menggapainya. Kabut itu membawa hawa dingin yang sedih. Dion ingin lari menjauh dari kabut itu. Sosok tegap di depannya berwarna biru lazuardi, hangat namun berjarak. Dion ingin meraih sosok hangat itu.

Rasa lelah mengombak bergulung-gulung, mendorong Dion ke arah sosok itu, sekaligus menariknya ke belakang menuju sosok kabut yang mungil itu. Dion melihat dirinya lumer, ditarik ke belakang oleh sosok kabut yang sedih, sekaligus ia menarik diri untuk menggapai sosok biru lazuardi yang hangat. Nyeri mengigit pelan-pelan, tubuh Dion semakin lumer, dirinya terbelah, koyak, tanpa suara.

*Tulisan ini adalah naskah lama yang disunting ulang dan dimuat di website suarakita.org pada bulan Februari 2023. Sebuah kisah kadang baru bisa diakhiri setelah satu dekade lebih.

Tinggalkan komentar